2006-Saat kenaikan kelas, aku di tempatkan di kelas VIII B. Pembagian kelas saat itu masih berbasis menurut urutan nilai dan prestasi siswa. Yang unggul masih kelas A. Pola belajarku yang belum stabil pada saat duduk di kelas VII, ditambah aku yang masih ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan baruku, konsentrasi belajarku labil, tak heran dari kelas A, aku menjadi turun ke kelas B.
Di kelas VIII, kembali aku di pertemukan dengan wajah-wajah baru. Hela nafasku sejenak. Baru saja aku menyesuaikan diri dengan lingkungan kelasku sebelumnya dan berhasil memiliki banyak teman, tetapi sekarang lagi-lagi aku harus berusaha menyesuaiakan diri dengan lingkungan kelasku yang baru. Apa mau di kata, nasi sudah menjadi bubur.
Tetapi walau demikian, tergantung kita mau di apakan bubur itu. Bubur bisa di sajikan secara istimewa apabila di tambah daging, kerupuk, dan bumbu lainnya yang dapat menjadikannya istimewa. Begitu pula dengan hal yang tengah ku alami. Meski aku tak lagi duduk di kelas unggulan, aku tetap berusaha menjadikan diriku berarti dan menggapai prestasi sebaik yang aku bisa di kelas baruku.
Pergaulanku semakin aktif, aku sudah mulai dapat memahami dan masuk lebih dalam di tengah pergaulan anak-anak kota itu. Di luar dugaanku sebelumnya, ternyata aku satu kelas dengan murid-murid yang hampir semua di antaranya pernah berurusandengan guru BP. Tentu saja itu semua di karenakan banyaknya peraturan sekolah yang sering mereka langgar.
Di dalam kelas, mereka menampakkan diri sebagai sesosok murid lugu yang cuek, dan cenderung pendiam pada saat belajar di kelas. Namun siapa sangka, apabila guru telah meninggalkan kelas, mereka dapat langsung berubah seketika layaknya kucing yang apabila ada tuannya, bersikap manis, tetapi jka sebaliknya, kucing itu dapat langsung mencuri serta memakan habis ikan milik tuannya.
Banyak di antara mereka yang kembali ke kelas setelah jam istirahat usai, yakni sehabis merokok, meneguk minuman keras, dan bahkan sudah tak sungkan lagi berbuat mesum di dalam kelas. Setiap sudut kelas, sudah tak asing bagiku ketika aku harus menyaksikan semua itu. Tak terkecuali murid perempuannya, hampir semua teman-teman perempuanku pun merokok, tak kalah dengan kaum pria. Mereka semua bangga dengan gelar anak badung.
Mata memerah, badan sempoyongan, kelas yang begitu bau asap rokok, dan kemudian terpaksa secara tak langsung aku pun menjadi yang termasuk melakukan zina mata,karena kerap kali menyaksikan perilaku mereka yang tak bermoral itu. Aku terbeleggu dan terjepit di sebuah roda keadaan. Niatku menyesuaikan diri, telah di uji kembali. Bingung, takut, terus membayangi diri, ketika aku harus melihat mereka berubah laksana buas bahkan aku berada di dalam pergaulan liar itu. Aku berstatus quo.
Beban itu, berusaha ku tahan, tak ku ungkap kepada orang banyak. Rasaku, mereka ialah teman-temanku yang sudah menjadi bagian hidupku. Mereka liar dan hanya merusak diri sendiri, sedangkan sikap mereka padaku cukup baik.
Beberapa lama kemudian, suasana kelas yang cukup ekstrim bagiku itu, membuat seolah semakin merasuk dalam jiwa remajaku yang masih labil. Rasa ingin tahuku terhadap hal-hal baru memuncak saat itu. Di mulai dari senang, Aku menjadi sering bolos sekolah, Aku mulai senang lalu ikut-ikutan melecehkan guru yang sedang mengajar di depan kelas, apalagi pak Setiadi, salah seorang guru yang cenderung memiliki sifat yang aneh menurut kami (para siswa).
Intonasi bicaranya tak pernah terdengar jelas, maka dari itu kami tak pernah mengerti, tak mau tahu, dan tak mahu mendengarkannya. Mulanya aku masih segan dan menghormati guru itu.
Namun suasana kelas yang di dominasi oleh mereka yang seperti itu, memacuku untuk berbuat hal serupa. Terbawa arus karena terus menerus. Terus menerus setiap hariaku di suapi dengan hal-hal menyimpang itu.
Aku dan sebagian besar temanku, tak segan mengeluarkan berbagai celotehan buruk kepada guru tersebut.
Buku Latihan yang seharusnya kami isi dengan betul pun, malah kami isi dengan tulisan-tulisan lucu, kasar, dan jorok. Karena guru itu tak pernah membaca apa yang kami isi pada buku latihan itu, Beliau hanya membuka lembaran demi lembaran dan langsung memberikannya paraf di buku latihan itu. Kejadian itu terus berulang-ulang, dan hampir selalu seperti itu. MOHON MAAF GURUKU.
Buku Latihan yang seharusnya kami isi dengan betul pun, malah kami isi dengan tulisan-tulisan lucu, kasar, dan jorok. Karena guru itu tak pernah membaca apa yang kami isi pada buku latihan itu, Beliau hanya membuka lembaran demi lembaran dan langsung memberikannya paraf di buku latihan itu. Kejadian itu terus berulang-ulang, dan hampir selalu seperti itu. MOHON MAAF GURUKU.
Setelah aku dewasa kini, tentu aku telah memohon maaf pada Beliau.
Aku merasa senang kala itu. Melakukan hal baru yang belum pernah ku lakukan sebelumnya. Menginjak semester dua, Aku mulai sering di panggil dan masuk BP. Mengingat hal-hal menyimpang yang kerap ku lakukan sebagai pelajar. Aku dan sebagian besar temanku di kelas, di julukli si pembuat masalah. Watak penentang aturan.
Melanggar aturan, sudah sangat menjadi gaya hidup anak-anak di sekolahku, jiwa, dan lebel yang di terapkan pada kami, meski tak seluruhnya, namun yang mendominasi ialah anak-anak yang istilah masyarakatnya mereka sebut badung. Dari sinilah, aku telah sadar, aku berada di mana, bergaul dengan orang-orang seperti apa, aku semakin paham.
Tak ayal, semua menjadi bumerang. Predikat empat belas anak terbadung ku sandang. Di proklamirkan guru BP ku, saat empat belas murid ini kedapatan bolos sekolah. Sesalku sempat terlintas dalam benak, bagaimana jika ibuku sampai mengetahuinya. Tetapi lgi-lagi menentang aturan sudah seakan menjadi makanan sehari-hariku. Kembali aku dan teman-teman satu kelasku mendapat hukuman. Kali ini, bukan hanya dari guru BP, tetapi dari guru-guru yang biasa mengajar akademis di kelas.
Berdiri di depan kelas samping papan tulis, saat proses belajar mengajar berlangsung, lari sepuluh keliling lapangan voli, bahkan hingga tak di izinkan mengikuti pelajaran pun pernah ku rasakan. Ya, itulah beberapa hukuman yang sering aku dapatkan di sekolah.
Anehnya, meski aku memang senang menentang aturan, antusiasku dalam menggapai nilai yang gemilang terus berkobar. Hingga tak di nyana, aku berhasil meraih peringkat 3 kala itu. Cukup membingungkan bagi teman-temanku, apalagi guru-guruku. Tak apalah mungkin aku yang senang menentang aturan sekolah,hanya ingin sok eksis, hanya ingin keberadaanku diakui dalam pergaulan teman-teman ku saja. Akan tetapi tujuan kenapa aku sekolah tetap ku nomor satukan.
Posting Komentar