Oktober 2012-Setelah diberitahu siapa narasumber yang harus diwawancarai, seorang wartawan pemula ini kalang kabut. Padahal sudah jelas, narasumbernya siapa, selanjutnya harus ditemui di mana. Rasa malu melakukan kegiatan jurnalistik sempat berkecamuk dalam jiwanya. Selain pemalu, anak ini tidak berniat masuk ke dalam ranah jurnalistik. Bahkan, lebih dari itu, istilah jurnalistik pun belum pernah ia dengar sebelum ia memasuki bangku kuliah dan mengambil jurusan Jurnalistik.
Mungkin, sebagian dari anda ada yang memiliki
pengalaman demikian hampir sama. “Mengapa jadi jurnalis?.”
Sejak awal diturunkannya, jurnalistik telah menyatu dengan agama islam. Hal ini dapat dilihat dari peristilahan yang banyak digunakan di dalamnya. Kata Nabi atau nabiyyun, berarti pembawa berita, wahyu dari kata auha, yang berarti berita. Begitu pula dengan Al-Qur’an dari kata dasar maqru, berarti sesuatu yang dibaca dan dipelajari. Selain itu, dikenal kata kitab, atau maktub, berarti sesuatu yang ditulis dan Al-Hadits berarti ucapan atau kejadian.
Ternyata, dari seluruh kitab suci yang diturunkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala, hanya Al-Qur’an-lah yang meletakkan satu
ayat perintah dalam mengkaji berita. “Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS
Al-Hujurat:6).
Selain itu, mengutip dari salah satu jurnalis senior,
Adian saputra, “Metode kerja jurnalis sama dan sebangun dengan perawi hadits.”
Para perawi hadits bisa dikatakan sangat berjasa
karena memastikan kesahihan setiap hadits yang meluncur dari lisan Nabi
Muhammad Saw. Hadits-hadits yang menjadi pedoman bagi seluruh umat muslim
setelah Al-Quran, dari zamannya hingga kini. Bayangkan, dari zaman Nabi,
sahabat, kemudian tabi’in, itu terdapat rentang waktu yang sangat lama.
Bukan hanya itu, mereka berkelana dan juga menyebar ke seantero dunia untuk mendapatkan sebuah hadits. Boleh jadi, karena jarak yang begitu jauh, ingatan yang terbatas, serta konteks yang berbeda, membuat beberapa hadits terdistorsi.
Bukan hanya itu, mereka berkelana dan juga menyebar ke seantero dunia untuk mendapatkan sebuah hadits. Boleh jadi, karena jarak yang begitu jauh, ingatan yang terbatas, serta konteks yang berbeda, membuat beberapa hadits terdistorsi.
Namun, para
perawi hadis hebat, seperti Imam Bukhari, Muslim, An Nasai, Ibnu Majah,
Tirmidzi, dan Abu Dawud melakukan “reportase” berkedalaman serta menjaga
akurasi dari setiap teks hadits yang mau mereka riwayatkan. Jika ada satu
fragmen yang terputus lantaran sanadnya tak kuat, mereka tak ragu untuk
menyingkirkannya.
Mereka juga merekonstruksi hadits itu sesuai dengan teks dan konteksnya. Pilihan mereka jelas kepada sumber-sumber terpercaya. Andaikan bertemu dengan narasumber yang da’if (lemah), pasti mereka tinggalkan. Kalaupun diambil, itu hanya sebagai perbandingan.
Lantas,
kerja jurnalis pun serupa dengan perawi hadits. Pertama,
Kecerdasan. Cerdas merupakan syarat utama seorang jurnalis bekerja.
Tanpa itu, sulit untuk wartawan membuat hasil reportase yang memikat. Tetapi
untuk seorang jurnalis, kecerdasan bisa dibangun dengan ketekunan dan
kesungguhan. Kedua, ketat dalam verifikasi. Para perawi hadis ketat
dalam memverifikasi setiap narasumber. Wartawan juga begitu halnya.
Hanya narasumber terpercaya saja yang bisa diambil komentarnya untuk merekonstruksi sebuah peristiwa. Verifikasi tak cuma pada sosok narasumber, tapi juga pada konten. Ketiga, memiliki daya hafal yang kuat. Para perawi punya dhabt (daya hafal) yang kuat. Wartawan idealnya juga demikian. Mungkin ada keterbatasan dalam hal mengingat, maka itu jurnalis dibantu dengan seperangkat alat.
Hanya narasumber terpercaya saja yang bisa diambil komentarnya untuk merekonstruksi sebuah peristiwa. Verifikasi tak cuma pada sosok narasumber, tapi juga pada konten. Ketiga, memiliki daya hafal yang kuat. Para perawi punya dhabt (daya hafal) yang kuat. Wartawan idealnya juga demikian. Mungkin ada keterbatasan dalam hal mengingat, maka itu jurnalis dibantu dengan seperangkat alat.
Seorang
jurnalis pemula tidak boleh patah arang. Mungkin ilmunya masih kurang,
pendidikannya kurang, tapi keberaniannya tidak boleh kurang. Penolakan demi
penolakan untuk wawancara tak jarang mungkin akan dialami. Menghabiskan banyak
waktu demi tertoreh sepatah kata untuk awal kalimat. Mengalami malam-malam
penuh kegusaran dihantui istilah yang bernama date line. Atau
bahkan rintangan lain yang tak bisa diprediksi.
Menikmati proses, haruslah jadi motivasi terkuat yang tertanam dalam diri. Terima kekurangan dengan keikhlasan mau terus belajar agar lebih maju.
Kini, dinamika ranah jurnalistik sudah membahana.
Apalagi, media pun gencar dengan citizen journalism.
Maka dari itu, mengapa tidak, menjadi
seorang Jurnalis. Menjadi bagian dari sejarah. Mengemban tugas vital, membina
publik dunia dengan meneladani keempat sifat Rasulullah Saw., shiddiq (jujur),
amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan semua tanpa ada yang
disembunyikan) dan fathonah (cerdas dan mencerdaskan). Siap???
Posting Komentar