Sahabat Sejati Setelah Dia

2007-Di bangku yang berada di sudut kelas itu, anak perempuan itu selalu memberiku senyum yang ramah, yang menurutku cukup memberi kesan yang lebih di banding teman baruku yang lain kala itu. Kemudian aku pun tentu harus membalas senyumnya juga bukan.

Ya, setelah itu, kami pun berkenalan lebih dekat. Dan setelah sekian lamanya aku merasa kami berteman dekat, murid yang lain pun senantiasa menyebut-nyebut kami dengan istilah bersahabat, karena melihat kami yang begitu dekat.

Namun tak di  nyana, setelah sekitar setengah tahun lamanya kami berteman dekat, ia melakukan suatu hal yang terus terang sulit untuk ku terima, terlalu sulit untuk ku maafkan, meski akhirnya aku sudi memaafkan.Siang itu, sepulang sekolah, kami tak akan langsung pulang, karena kami berdua akan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler terlebih dahulu di sekolah.

Aku pergi keluar kelas sebentar untuk membuang sampah jajananku. Namun tiba-tiba saat aku hendak memasuki kelas, teman dekatku tu nampak tergesa-gesa dan terburu-buru keluar dari kelas, serta tengah membawakan tasku. Ia langsung menarik tanganku dan berkata “cepat !!, kita bisa telat, ini sudah ku bawakan tasmu,” ungkapnya.

Kami pun langsung bergegas menuju kelas, tempat berkumpulnya para anggota English Club, yakni Ekstrakurikuler yang kami ikuti di sekolah saat itu. Aku fokus dan senang mengikuti organisasi ini. Namun saat pulang, aku teringat handphoneku, yang dari tadi aku belum melihat dan memegangnya. Lekas aku membuka tasku, dan mendapati handphoneku tak nampak. Sontak aku terkejut bukan main. Aku hubungi sahabatku itu, karena ia yang membawakan tasku, tetapi ia mengaku sama sekali tidak tahu menahu kan hal ini. Tangisku pilu malam itu, selalu teringat barang yang ku belli dari hasil tabunganku itu.

Keesokan harinya, sahabatku tak masuk sekolah. Semua teman di kelas ramai memperbincangkan hal ini, dan tentu atas ketidakhadiran Desi hari itu, yang terkenal merupakan teman dekatku, menjadi tanda tanya besar nan ganjil. Aku tak ingin menaruh curiga terhadapnya. Aku selalu meyakinkan pada diriku itu taklah mungkin di lakukannya.  Malam itu, kembali aku meringis penuh isak tangis mengingat hal ini. Setiap malam, HP itu selalu menina bobokan ku dengan suara musik yang keluar dari speaker nya. Dimanakah dirimu Sony Erycson K700i ku?.

Pagi itu, sewaktu kau masuk kelas, aku mendapati Desi tengah dikerubuni teman-temanku yang lain. Aku senang mereka sangat perduli padaku, tapi aku tidak terima Desi di bentak-bentak dan di introgasi dengan teganya kala itu. Akan tetapi mereka yang mengeroyok Desi dengan cercaan dan cibiran itu, mengatakan padaku tegas : 

“Pikir donk siapa lagi yang mencuri hp kamu, kalau bukan ini anak ! jangan termakan rayuan dan perilakunya yang pura-pura baik.


Tubuhku mematung di depan pintu masuk seketika, fikirku heran, mulutku tak dapat berkata-kata. Aku terkulai lemas, kecewa hebat, seakan mereka memang sudah tahu dan benar-benar yakin mengeluarkan kata-kata itu dengan lantangnya. Desi meliriku, dan tak ada pembelaan yang keluar sedikitpun dari mulutnya. Aku makin heran, jangan-jangan memang benar. Ku hampiri Desi, tetapi ia tak mau bicara sedikitpun denganku, dan malah beranjak pergi. Dari relung hatiku yang paling dalam, sesungguhnya aku tak mau dia seprti itu, jika memang tidak melakukan hal yang di tuduhkan teman-teman yang lain padanya, mengapa ia harus berlari keluar kelas, dan sama sekalli tak meyakinkan padaku jika ia bukan pelakunya.

Dari tindakan anehnya itu, aku sudah dapat menyimpulkan,bagaimanapun aku meyakinkan pada diriku, kalau ini semua tak mungkin, tetapi tetap saja memang inilah yang terjadi. Tetapi untuk benar- benar membuatku yakin kala itu, aku melaporkannya ke pihak pengurus siswa, atau BP. Desi di pangggil dan di introgasi di hadapanku. Batinku tak tega namun tak ku pungkiri juga aku kecewa. Keesokan harinya, hp ku kembali dan sejak saat itu, kami tak pernah saling bicara ataupun tampak seperti pernah kenal sebelumnya. 

Sahabat Sejati


Kala itu, ia mengajakku membeli sebuah flashdisk ke toko Komputer. Mulanya, ia betul-betul asing bagiku. Bahkan sebelumnya, kami tak pernah berkenalan, meski satu kelas. Ia sok kenal, dan sok dekat denganku, ia juga bersikap sangat percaya diri mendekatiku. Tanggapanku biasa saja, dan mau menerima ajakannya pun karena aku juga tengah membutuhkan flashdisk kala itu. Hari itu, merupakan kali pertama aku jalan dengannya, dan kesanku memang sungguh masih biasa saja, simbiosis mutualisme.

Tiba-tiba setelah aku pulang dan tiba di rumah, Ia mengirimiku sebuah pesan singkat. Inilah pesannya : 

“Makasih, tadi udah nemenin, maaf ya aku sempat telat tadi, santi..kamu mau kan jadi sahabat aku?”


Responku masih biasa saja, dan aku membalas dengan santai, “sahabat ? kita kan emang udah temenan,” lalu ia membalas lagi, “ikh ya udah kalo gak mau mah ! gak maksa.” Rasanya aku dalam posisi bersalah, ya sudahlah ku jawab “iya, aku mau.” Balasannya tampak gembira, “makasih ya, aku janji gak bakal ngecewain kamu, mulai hari ini kita resmi jadi sahabat ya?”. Responku tetap biasa saja dan malah mengaggapnya orang aneh dan lebay. Harusnya biasa saja, fikirku.

Berawal dari dia memberiku kado pada saat ulang tahunku, sedangkan teman dekatku yang lain tidak, padahal bukan karena ia punya banyak uang, tetapi meski murahan, ia ingin merasa dirinya berarti dalam hidupku, ujarnya. Relungku tersentuh, rasanya ia mulai spesial dalam hidupku. Aku mulai merasa ia berharga. Aku tak pernah trauma, apalagi menyangkut aku pernah di kecewakan yang namanya sahabat.  Giliran ulang tahunnya pun tiba, aku tengah memiliki rencana yang menurutku hebat kala itu. Aku menjadi sang sutradara dalam sandiwara ini. Aku menyuruh teman yang lain jangan ada yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya.

Pagi itu, wajahnya tampak amat sangat murung. Ia mengajakku bicara, mengundangku pula untuk merayakan ulang tahunnya di rumahnya, namun ku acuhkan. Oh..hatiku benar-benar senang kala itu, nampaknya sandiwara ini mulai memberi isyarat bahwa akan sangat berhasil mengerjainya. Wajahnya nampak lebih murung saja di dalam kelas. Hatiku juga makin senang. Sungguh kasihan, tak ada seorang teman pun di kelas yang memberinya ucapan selamat ulang tahun

Saat pulang sekolah tiba, tubuhnya benar-benar nampak lesu, wajahnya musam, dan seakan sudah enggan bicara dengan makhluk yang ada di sekelilingnya. Ia berjalan dengan pelannya. Aku sudah tak kuasa menahan tawa dengan temanku yang lain, sandiwara pun ku akhiri sudah. Aku dan teman-temanku datang ke rumahnya, aku mendapati ia tengah duduk termenung nampak amat murung sekali di depan rumahhnya dan sontak kami pun berteriak “HAPPY BIRTHDAAAAAAAAAY NITA !!!!!! “maafin aku, aku yang merencanakan semua ini,”ujarku.

Nita langsung meluapkan kemarahannya padaku, ia mencubit dan menarikku dengan kencang dan berkata “SIALAAAAAN…..KURANG AJAR !!!”. Sejak saat itu, persahabatan kami terasa lebih dekat. Malam itu, ialah kali pertama ia mengucapkan “baru kali ini aku merasakan sayang banget sama yang namanya sahabat, yaitu kamu,” ujarnya padaku. Setelah semua yang kita lewati bersama, senang sedih bersama, kami tak pernah saling mengecewakan dan menodai persahabatan ini.

Uniknya, Nita pernah mengaku cemburu pada teman yang masih satu kelas dengan kami, karena aku memang sedang ada keperluan dengan Fani kala itu, maka aku lebih sering dengannya. Juga tak hanya Fani, Nita juga mengaku tak suka terhadap Dian yang selalu memanas-manasi dirinya dengan berkata “Hey Nita, kalung yang sama yang kamu punya dengan Santi, pasti sudah di hilangkan Santi.”

Semua itu, nampaknya amat menekan perasaan sahabatku ini, hingga ia mengambil keputusan untuk memutuskan persahabatan kami. Saat itu, aku yang baru tiba di kostan sambil kelelahan, mendengar kabar sepert itu di telefon, sontak aku langsung menuju rumahnya yang jaraknya tak terlalu jauh dari kostanku. Aku berlari kencang, sambil tak enak hati.  Tiba di rumahnya, aku mendapat sambutan wajah tak enaknya. Senyum miris dari bibirnya, gerak tubuh yang seolah mengisyaratkan ia begitu membenciku

Hal inilah yang begitu membanggakanku dalam persahabatan ini. Kami berhasil melalui rintangan yang dapat memecahkan persahabatan kami yang kokoh. Ia luluh kembali oleh perkataanku. Perjuanganku membuat ia menarik kembali kata-katanya berbuah hasil yang melegakan. Dan ia pun mengakui bahwa ia juga terpaksa mengucapkannya.

Ia merasa banyak yang ingin menjadi sahabatku, dan ia lebih memilih untuk mundur. Ia merasa sakit hati kala aku seperti memiliki sahabat yang lain padahal di hati dia, ia mengaku bahwa hanya akulah satu-satunya sahabat unutknya, yang lain hanyalah kawan biasa, ungkapnya. Aku baru sadar, aku tak bisa kehilangannya. Perasaan ini tak kan berubah sampai kapan pun, tak kan lekang oleh waktu MY BFF !. Ia mengajariku makna sahabat sejati.

Related Post



Posting Komentar